Asal Muasal Si Raja Batak dan Pusuk Buhit
CNBKEPRI.COM – Pusuk Buhit adalah gunung yang awalnya bernama Gunung Toba, memiliki ketinggian 1.500 meter lebih dari permukaan laut, dan 1.077 meter dari permukaan Danau Toba.
Ada tiga kecamatan yang berada langsung di bawah gunung ini yakni, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kecamatan Pangururan, dan Kecamatan Harian Boho.
Berawal dari Si Boru Deak Parujar yang turun dari langit. Dia terpaksa meninggalkan kahyangan karena tidak suka dijodohkan dengan Si Raja Odap-odap.
Padahal mereka berdua sama-sama keturunan dewa. Dengan alat tenun dan benangnya, Si Boru Deak Parujar yakin menemukan suatu tempat persembunyian di benua bawah.
Alhasil, dia tetap terpaksa minta bantuan melalui burung-suruhan Sileang-leang Mandi agar Dewata Mulajadi Na Bolon berkenan mengirimkan sekepul tanah untuk ditekuk dan dijadikan tempatnya berpijak. Namun sampai beberapa kali kepul tanah itu ditekuk-tekuk, tempat pijakan itu selalu diganggu oleh Naga Padoha Niaji.
Raksasa ini sama jelek dan tertariknya dengan Si Raja Odap-odap melihat kecantikan Si Boru Deak Parujar. Akhirnya, Si Boru Deak Parujar mengambil siasat dengan makan sirih. Warna sirih Si Boru Deak Parujar kemudian semakin menawan Naga Padoha Niaji.
Dia mau tangannya diikat asal yang membuat merah bibir itu dapat dibagi kepadanya. Namun setelah kedua tangan berkenan diikat dengan tali pandan, Si Boru Deak Parujar tidak memberikan sirih itu sama sekali dan membiarkan Naga Padoha Niaji meronta-ronta sampai lelah.
Bumi yang diciptakan oleh Si Boru Deak Parujar terkadang harus diguncang gempa. Gempa itulah hasil perilaku Naga Padoha Niaji. Namun ketika guncangan itu mereda, Si Boru Deak Parujar mulai merasa kesepian dan mencari teman untuk bercengkerama.
Tanpa diduga dan mengejutkan, diapun bertemu dengan Si Raja Odap-Odap dan sepakat menjadi suami-istri yang melahirkan pasangan manusia pertama di bumi, dengan nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Dari generasi pertama ini, lahir tiga anak yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu dan Si Aji Lapas-lapas. Dari ketiga anak tersebut hanya raja Miok-miok memiliki keturunan yaitu Eng Banua. Generasi berikutnya, Eng Domia atau Raja Bonang-bonang yang menurunkan Raja Tantan Debata, Si Aceh dan Si Jau.
Hanya Guru Tantan Debata pula yang memiliki keturunan yaitu Si Raja Batak. Mulai dari garis Si Raja Batak, asal-usul manusia Batak bukan dianggap legenda lagi tapi menjadi Tarombo atau permulaan silsilah. Pada generasi sekarang telah dikenal aksara atau lazim disebut Pustaha Laklak.
Sebelum meninggal, Si Raja Batak sempat mewariskan ”Piagam Wasiat” kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mendapat ”Surat Agung” yang berisi ilmu perdukunan atau kesaktian, pencak silat dan keperwiraan. Raja Isumbaon mendapat “Tumbaga Holing” yang berisi kerajaan (Tatap-Raja ), hukum atau peradilan, persawahan, dagang dan seni mencipta.
Guru Tatea Bulan memiliki sembilan anak yaitu Si Raja Biak-biak, Tuan Saribu Raja, Si Boru Pareme (putri), Limbong Mulana, Si Boru Anting Sabungan (putri), Sagala Raja, Si Boru Biding Laut (putri), Malau Raja dan Si Boru Nan Tinjo (maaf, konon seorang banci yang dalam bahasa Batak disebut si dua jambar). Dari keturunan Guru Tatea Bulan terjadi pula perkawinan incest. Antara Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
Ini yang menurunkan Si Raja Lontung yang kita kenal marga Sinaga, Nainggolan, Aritonang, Situmorang, dan seterusnya. Pada umumnya, orang Batak percaya kalau Si Raja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit. Si Raja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama.
Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Ada dua arah jalan daratan menuju Pusuk Buhit. Satu dari arah Tomok (bagian Timur) dan satu lagi dari dataran tinggi Tele.
Asal Usul Si Raja Batak
Kalau versi ahli sejarah Batak mengatakan, bahwa Si Raja Batak dan rombongannya berasal dari Thailand yang menyeberang ke Sumatera melalui Semenanjung Malaysia, dan akhirnya sampai ke Sianjur Mula-mula dan menetap disana.
Sedangkan dari prasasti yg ditemukan di Portibi yang bertahun 1208 dan dibaca oleh Prof Nilakantisari seorang Guru Besar ahli Kepurbakalaan berasal dari Madras, India menjelaskan, bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya dan menguasai daerah Barus.
Pasukan dari kerajaan Cola kemungkinan adalah orang-orang Tamil, karena ditemukan sekitar 1500 orang Tamil yang bermukim di Barus pada masa itu. Tamil adalah nama salah satu suku yg terdapat di India. Si Raja Batak diperkirakan hidup pada tahun 1200 (awal abad ke 13), Raja Sisingamangaraja ke XII diperkirakan keturunan Si Raja Batak generasi ke19 yang wafat pada tahun 1907, dan anaknya Si Raja Buntal adalah generasi ke 20.
Dari temuan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar leluhur dari Si Raja Batak adalah seorang pejabat atau pejuang kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Barus, karena pada abad ke 12 yang menguasai seluruh Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Akibat dari penyerangan kerajaan Cole ini, maka diperkirakan leluhur Si Raja Batak dan rombonganya terdesak hingga ke daerah Portibi sebelah selatan Danau Toba, dan dari sinilah kemungkinan yang dinamakan Si Raja Batak mulai memegang tampuk pemimpin perang, atau boleh jadi Si Raja Batak memperluas daerah kekuasaan perangnya sampai mancakup daerah sekitar Danau Toba, Simalungun, Tanah Karo, Dairi sampai sebagian daerah Aceh, dan memindahkan pusat kekuasaannya di daerah Portibi di sebelah selatan Danau Toba.
Pada akhir abad ke 12 sekitar tahun 1275, kerajaan Majapahit menyerang kerajaan Sriwijaya sampai ke daerah Pane, Haru, Padang Lawas dan sekitarnya, yang diperkirakan termasuk daerah kekuasaan Si Raja Batak.
Serangan dari kerajaan Majapahit inilah diperkirakan yang mengakibatkan Si Raja Batak dan rombongannya terdesak hingga masuk kepedalaman di sebelah barat Pangururan di tepian Danau Toba. Daerah tersebut bernama Sianjur Mula-mula di kaki bukit yang bernama Pusuk Buhit, kemudian menghuni daerah tersebut bersama rombongannya.
Terdesaknya Si Raja Batak oleh pasukan dari kerajaan Majapahit kemungkinan erat hubunganya dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya di Palembang, karena seperti pada perkiraan di atas, Si Raja Batak adalah kemungkinan seorang penguasa perang di bawah kendali kerajaan Sriwijaya.
Sebutan raja kepada Si Raja Batak bukanlah karena beliau seorang raja, akan tetapi merupakan sebutan dari pengikutnya ataupun keturunannya sebagai penghormatan, karena memang tidak ada ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Batak.
Suku Batak sangat menghormati leluhurnya sehingga hampir semua leluhur marga-marga Batak diberi gelar raja sebagai gelar penghormatan, juga makam-makam para leluhur orang Batak dibangun sedemikian rupa oleh keturunannya, dan dibuatkan tugu yang bisa menghabiskan biaya miliaran rupiah.
Tugu ini dimaksudkan selain penghormatan terhadap leluhur, juga untuk mengingatkan generasi muda akan silsilah mereka. Di dalam sistem kemasyarakatan suku Batak terdapat apa yang disebut dengan marga yang dipakai secara turun temurun dengan mengikuti garis keturunan laki laki. Ada sekitar 227 nama marga pada suku Batak. Di dalam Tarombo Naimarata dikatakan bahwa Si Raja Batak memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu:
- GURU TATEA BULAN (Si Raja Lontung)
- RAJA ISOMBAON (Si Raja Sumba)
- TOGA LAUT.
Ketiga anak Si Raja Batak inilah yang diyakini meneruskan tampuk pimpinan Si Raja Batak dan asal mula terbentuknya marga-marga pada suku Batak.
Kisah Si Sulung Raja Uti dari Pusuk Buhit
Dalam catatan turi-turian (legenda/mitos) dan keyakinan sebagian keturunan Batak, anak Sulung Guru Tatea Bulan yang paling memiliki kesaktian adalah Raja Uti.
Si Sulung keturunan Guru Tatea Bulan ini dikenal dengan banyak sapaan atau gelar oleh masyarakat Batak. Raja Biak-biak, dengan nama Raja Gumelenggeleng. Si sulung keturunan Guru Tatea Bulan, seorang yang cacat yang tidak punya tangan, dan kaki.
Karena kondisi tubuhnya itu, si sulung tak bisa duduk. Berdasarkan turi-turian, Raja Gumelenggeleng merasa berkecil hati dihadapan adik-adiknya yang berbeda dengan kondisinya. Sebagian orang Batak berkata, dia punya sayap makanya disebut namanya Tuan Raja Uti, raja yang takkan pernah mati, raja yang takkan pernah tua.
Turi-turian Batak menyebutkan pesisir Fansur atau kadang lazim disebut Barus, sekarang ini menjadi tempat Raja Uti tinggal berikutnya. Wujud pertama Ompung Raja Uti adalah tidak punya tangan, tidak punya kaki (Patung rupa Raja Uti dapat dilihat di pusuk buhit).
Yang menarik dari ketujuh patung tersebut, ada 2 patung yang memakai bonang manalu (merah-putih-hitam) warna khas kosmologi Batak. Dulu orang yang memakai tali-tali bonang manalu menandakan bahwa ia seorang Parbaringin.
Sebelah kanan ada pohon beringin yang artinya berketurunan lengkap (saur matua) dan baringin tersebut merupakan gambar atau simbol pengayoman atau panggomgom yang dinamai ‘hariara sundung di langit’ dan sebelah kiri cawan menggambarkan nulani pangurason nasohaliapan, nasohapurpuran, napituhali malim napitu hali solam.
Ada rentetan cerita yang sangat panjang sampai akhirnya Debata Mulajadi Na Bolon manongos/ menurunkan ute tubu (pangir), daupa (pohon hamijon/kemenyan), dan demban tiar (sirih). Ketiga hal yang disebutkan di atas memiliki keterikatan/hubungan penggunaan yang tidak bisa dipisahkan (bagi orang yang mengerti). Kalau untuk bona ni jajabi/pohon beringin, dipakai oleh raja-raja (yang sekarang disebut dengan Raja Bius) untuk tempat partukoan (rapat/pertemuan) dalam membahas sesuatu permasalahan.
Sebelah kanan ada dua patung yang memakai ulos warna putih, disini janggal keliatannya sebab jarang sekali ulos berwarna putih polos. Ulos juga memakai tiga warna khas Batak. Biasanya warna/motif pada ulos juga memberikan ciri dari kelompok dalihan natolu yaitu kelompok hula-hula lebih banyak hitamnya dairpada warna putih dan merah, sedangkan untuk dongan tubu lebih banyak putihnya daripada warna hitam dan merah, dan terakhir kelompok boru lebih banyak warna merahnya daripada warna putih dan hitam.
Sebagai keturunan pertama dari Ompu Guru Tatea Bulan, Op Raja Uti meminta izin kepada ibunya untuk pergi ke Pusuk Buhit demi memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar boleh dia dijadikan menjadi raja di antara saudara-saudaranya, karena dia adalah putra yang sulung dan pertama keluar dari rahim ibunya, jadi pantaslah dia yang menjadi raja. Kemudian lanjutnya, “Tapi apa dayaku sebagai orang tak sempurna sebagai manusia yang selalu dianggap remeh oleh saudara-saudaraku”.
Mulajadi Na Bolon mengabulkan permintaan Gumellenggelleng, dan seketika tubuh Gumellenggelleng berubah menjadi manusia yang sempurna yang memiliki kaki dan tangan bertumbuh normal.
Lalu, dia diberi kuasa oleh Mulajadi Na Bolon menjadi orang sakti yang disebut namanya menjadi Raja Biakbiak. Setelah Gumellenggelleng disempurnakan menjadi perkasa sebagai Raja Biakbiak, maka Mulajadi Na Bolon kemudian pergi ke tahtanya melalui Pusuk Buhit, dan jadilah Biakbiak menjadi raja pertapa sakti.
Setelah sekian lama dalam pertapaannya, Raja Biakbiak dengan percaya diri turun dari Pusuk Buhit hendak menjumpai orangtuanya dan saudara-saudaranya, dan membayangkan bahwa dia akan disambut oleh keluarga itu sebagai raja, karena dia sebagai anak yang tertua dan lagipula dia telah menjadi manusia sempurnah dan sakti.
Anggapan itu ternyata meleset dan dia menjumpai keluarganya sudah berantakan bercerai-berai, karena ulah Sariburaja dan Siboru Pareme yang berbuat cinta terlarang.
Raja Biakbiak tidak menjumpai lagi Siboru Pareme kembarannya dan demikian juga Sariburaja adiknya, tak terlihat lagi karena sudah terusir dari kampungnya. Karena dia merasa sangat kecewa bahwa keluarga keturunan ayahnya sudah berantakan dan bercerai-berai, maka dia pergi ke Singkil.
Raja Biakbiak, walaupun bertubuh kecil tetapi dia memiliki tubuh sempurna dan memiliki kesaktian tinggi, sehingga raja-raja setempat mempersembahkannya istri. Kekuasaannya kemudian membentuk sebuah kerajaan Batak, dan dia digelari sebagai Raja Uti karena memiliki utiutian dari Mulajadi Na Bolon sebagai kesaktiannya. Kekuasaannya berkembang di Singkil, Kluet dan sampai ke Barus yang ramai dengan perdagangan.
Raja Uti Diserahkan di Puncak Pusuk Buhit
Bukan hanya orang Batak, tak sedikit warga dari luar Sumatera Utara, termasuk tokoh politik nasional yang datang ke puncak Gunung Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir, untuk berdoa.
Mereka menganggap tempat itu suci. Zaman dulu, Mulajadi Na Bolon atau Tuhan Yang Maha Esa mengirimkan tujuh gadis dari kayangan ke Pusuk Buhit. Mereka mandi di Tala, sekitar 30 menit perjalanan kaki sebelum puncak tertinggi Pusuk Buhit. Guru Tatea Bulan, putra dari nenek moyang orang Batak, Si Raja Batak, melihat gadis-gadis itu saat mandi.
Lalu, ia mengambil kain milik salah satu perempuan surgawi itu. Enam gadis kembali ke langit dan satu lagi tinggal di Pusuk Buhit, yang kemudian diperistri oleh Guru Tatea Bulan.
Mereka bermukim di Parik Sabungan, di kaki Gunung Pusuk Buhit. Dari perempuan suralaya itu, Guru Tatea Bulan memiliki sepuluh keturunan yakni, lima putra dan lima putri. Putranya yang sulung lahir tidak normal, tidak seperti manusia lazimnya. Tubuhnya tidak memiliki tulang. Ukurannya kecil. Beribu-ribu tahun kemudian ia dikenal dengan nama Raja Uti.
Istri Guru Tatea Bulan sangat mencintai kesepuluh anaknya. Khusus kepada Raja Uti yang tidak normal, dia mesti menanak beras yang enak, agar bisa dimakan. Empat adik laki-laki Raja Uti pun cemburu, bahkan menginginkan abang mereka itu dibunuh, karena fisiknya tidak selayaknya manusia. Karena tekanan dari empat putranya, istri Guru Tatea Bulan akhirnya membawa Raja Uti ke lokasi air terjun Batu Sawan, sekitar satu kilometer dari kampung Parik Sabungan ke arah puncak gunung.
Tidak jauh dari air terjun itu, terdapat batu berliang seperti mulut gua, di sanalah Raja Uti ditinggalkan. Saban hari ibunya diam-diam mengantarkan nasi untuk Raja Uti di Batu Liang. Dia juga memandikan anaknya itu di air terjun Batu Sawan.
Mengetahui hal itu, empat putranya yang lain kembali protes, “Kami kira Ibu sudah membuang Abang”. “Tidak bisa begitu, Nak. Berdosa,” kata istri Guru Tatea Bulan kepada anak-anaknya. Setelah bertahun-tahun, istri Guru Tatea Bulan kembali menaiki Gunung Pusuk Buhit untuk memberi Raja Uti makan.
Dia kaget melihat Raja Uti terjatuh berguling-guling dari Batu Liang. Dia sedih, lalu berdoa, “Ompung Mulajadi Na Bolon, saya tidak sanggup lagi melihat anakku tersiksa seperti ini selama hidupnya.” Akhirnya, dia dan suaminya, Guru Tatea Bulan dengan berat hati membawa Raja Uti ke puncak tertinggi Gunung Pusuk Buhit. Selama sehari semalam mereka berdoa di puncak, dan tidur di sana.
Sambil menangis, Guru Tatea Bulan dan istrinya berdoa, “Ompung, bagaimana pun jadinya kelak anak kami ini, Engkaulah yang tahu. Apakah dia akan jadi manusia yang normal, atau menjadi angin, kami pasrahkan dia ke dalam tangan-Mu.” Raja Uti pun diselimuti dan ditinggalkan sendirian di puncak tertinggi Pusuk Buhit. Ratusan tahun berlalu, Mulajadi Na Bolon menyampaikan kabar lewat suara-suara tak berwujud kepada warga di kaki Pusuk Buhit: “Ei, manisia, gellengmi ndang mate (hai manusia anakmu tidak mati)”.
Empat saudara laki-laki Raja Uti telah beranak cucu. Warga kampung semakin banyak. Suatu hari ada seorang kakek tak dikenal datang ke kampung, dan berkata, “Akulah anak yang dulu dibuang di puncak”.
Orang-orang lalu mengingat cerita, itulah Raja Uti, putra tertua Guru Tatea Bulan, yang semasa kecilnya tidak memiliki tulang. Raja Uti dikenal sakti. Fisiknya bisa berubah-ubah dalam tujuh macam wujud. Namanya ada tujuh. Raja Uti adalah nama terakhirnya.
“Tidak bisa doa kalian sampai kepada Mulajadi Na Bolon bila tidak melalui aku, karena aku tinggal di puncak Pusuk Buhit,” titah Raja Uti kepada warga kampung. Tapi permintaan Raja Uti sangat berat.
Ia mesti memakan tubuh manusia sebagai persembahan warga yang meminta sesuatu lewat doa-doa mereka kepada Mulajadi Na Bolon. Warga lalu memohon kepadanya agar sesajen tubuh manusia itu digantikan dengan ternak kerbau. Sejak itulah puncak Gunung Pusuk Buhit menjadi keramat.
Bila penyakit atau musibah menimpa warga di perkampungan Limbong dan Sagala zaman dahulu, warga mesti menyiapkan kerbau sebagai syarat permintaan doa kepada Mulajadi Na Bolon melalui Raja Uti.
“Itu tempat yang sakral. Jangan datang ke Pusuk Buhit jika untuk bersikap atau berkata-kata tak senonoh”. Syarat dasar untuk berdoa di puncak Pusuk Buhit yakni, jeruk purut, daun sirih, dan telur ayam masing-masing tujuh. Bila mampu, orang bisa juga membawa ayam putih atau kambing putih.
Pusuk Buhit dan Nabi Raja Uti
Pusuk Buhit, gunung keramat bagi orang Batak, bukan cuma bernilai sejarah, melainkan juga rohaniah. Kita tak perlu berlebihan mengultuskan kemistikannya, tapi jangan pula kita enggan mengakui kehadirannya.
Daya mistis Pusuk Buhit, gunung keramat di Kabupaten Samosir dengan ketinggian kira-kira 1.900 meter di atas permukaan laut, telah melegenda ke seantero dunia.
Konon di kaki gunung inilah, tepatnya di Parik Sabungan, Desa Sariman Rihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, orang Batak pertama berkampung dan beranak pinak. Dipercayai, di puncak Pusuk Buhit lah cucu paling tua Si Raja Batak, Raja Uti, dikembalikan oleh orang tuanya Guru Tatea Bulan kepada Mulajadi Na Bolon.
Raja Uti, yang tubuhnya tak bertulang ketika kecil, muncul beratus tahun kemudian dengan kesaktiannya. Kini, melalui penguasa puncak Pusuk Buhit itu para peziarah memanjatkan doa kepada Mulajadi Na Bolon, Sang Pencipta.
Penganut agama-agama seperti Kristen dan Islam, mungkin akan sangat sulit menerima keberadaan Mulajadi Na Bolon dan “nabi”-Nya di Tanah Batak, Raja Uti. Namun, sebaliknya, pemeluk agama bumi seperti Hindu, Taoisme, Zoroasterisme, dan Parmalim tampaknya akan lebih mudah “mengamininya”, karena religi-religi tersebut lebih terbuka menakrifkan sosok Sang Khalik (*)
Sumber : (Faseberita.id)